sejarah agama kapitayan dan bangunan melambangkan Ketuhanan
Agama yang disebut Kapitayan telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga kedatangan ras Austronesia. Pembawa dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh. Selain Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di alam gaib atau ka-hyang-an.
Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka
sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan
tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra. Sanghyang
Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni
kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang
mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda
(bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang
pohon) serta yang lain. Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang
mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak),
tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan
agama Kapitayan
Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini
berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah
Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di
tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat
khusus bernama sanggar yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki
tu-tuk (ceruk pada dinding)
Tata cara
bersembahyang
yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep. Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut). Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati). Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
Ketika balik ke Nusantara, dia melihat realita Kesultanan Demak yang masih meneruskan pola kekuasaan Majapahit. Jika ada masyarakat yang akan menghadap sultan atau raja diharuskan nyembah dulu yang oleh Syaikh Lemah Abang dianggap tidak benar. Sebab ketika Syaikh Lemah Abang menghadap sultan maupun raja, dia tetap dengan posisi berdiri, tidak nyembah, dan sejak itu dia melarang masyarakat menyembah jika menghadap sultan.
“Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia”.
Orang Jawa dan Sunda dan pada umumnya suku lain di Nusantara seperti Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, To Manurung-Ila Galigo di Sulawesi, dll, di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.
Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun),
juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu,
Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan
ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum
migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.
Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.
Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya. Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem
kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang
berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam
bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan
Adikodrati yang supranatural. Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang
mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya.
Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala).
Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang
Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa
diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya
mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya
gaib” yang bersifat Adikodrati.
Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam
Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia
memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan
disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. TU yang bersifat
Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya. Demikianlah, Sang Hyang
Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang
Hyang Tunggal. Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang
Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan
akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat
paradoks itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang
bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam
ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari
Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di
dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran
Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul,
TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU,
TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan
bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal,
TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini
memiliki kekuatan gaib.
Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti
Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas
adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam
kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan,
mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan
tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk (lubang)
sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di
dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah
selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep
(memegang ke-aku-an diri). Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian
dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan
lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki),
dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud). Sedangkan tempat
ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan
lubang di dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan membayangkan
tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di
desa-desa pada umumnya.
BENTUK KHAS DARI
KAPITAYAN
Tumpeng merupakan hidangan khas Indonesia yang biasanya
disajikan untuk merayakan hari spesial. Cara penyajiannya dengan meletakkan
nasi berbentuk kerucut di bagian tengah, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan
sayuran. Ternyata, tumpeng merupakan singkatan dari yen metu kudu sing mempeng.
Artinya, jika keluar harus dengan sungguh-sungguh. Dilengkapi tujuh atau pitu
macam lauk-pauk yang dimaksudkan sebagai pitulungan berarti meminta
pertolongan.
KISAH SEJARAH TUMPENG
Dilansir dari buku berjudul Bali Bukan India, tumpeng
merupakan gambaran kondisi geografis Indonesia yang dipenuhi gunung berapi.
Hidangan ini sudah ada sejak dahulu kala untuk memuliakan gunung sebagai tempat
bersemayam para Hyang atau arwah leluhur. Saat proses penyebaran agama Hindu di
Pulau Jawa terjadi, bentuk mengerucut tumpeng dibuat untuk meniru Gunung
Mahameru yang dianggap suci. Konon, gunung ini menjadi tempat tinggalnya para
Dewa-Dewi.
Akhirnya, masuknya agama Islam ke
Pulau Jawa membuat arti tumpeng bergeser. Semula untuk memuliakan gunung, lalu
berubah menjadi wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya, disajikan
selepas pengajian Al-Qur'an yang disantap bersama-sama.
FILOSOFI
TUMPENG
Secara garis besar, tumpeng
merupakan wujud dari nilai toleransi, keikhlasan, kebesaran jiwa, dan kekaguman
atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, seperti dilansir dari buku Aneka Kreasi
Tumpeng. Bentuk tumpeng yang mengerucut, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan
sayuran merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang
tinggi berarti lambang dari keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aneka lauk pauk
dan sayuran di sekeliling nasi menjadi simbol isi alam.
Gak cuma itu, ada tumpeng berwarna kuning dan putih dengan makna berbeda. Warna putih pada nasi tumpeng melambangkan kesucian, sedangkan kuning lebih pada kekayaan dan moral yang luhur.
Daftar Pustaka
https://www.idntimes.com/food/dining-guide/prila-arofani/kisah-sejarah-dan-makna-tumpeng/2
https://blog.ullensentalu.com/sekolah-asli-jawa-sebelum-mengenal-sekolah-ala-barat-1-padepokan/
Video:
https://www.youtube.com/channel/UC1m0n4bYSQDejLGONXJitFw
Jika ingin mengetahui sejarah majapahit dapat datang ke museum History Of Java silahkan datang kesini dan dapat menghubungi untuk reservasi dapat menghubungi 085748228300
Lokasi:
Jl. Parangtritis Km 5.5 ( Pyramid Cafe) Tarudan Bangunharjo Sewon Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Tarudan, Tarudan, Bangunharjo, Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55188
Jam:
Senin 09.00–18.00
Selasa 09.00–18.00
Rabu 09.00–18.00
Kamis 09.00–18.00
Jumat 09.00–18.00
Sabtu 09.00–18.00
Minggu 09.00–18.00
Comments
Post a Comment